Kebijakan Publik

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Awalnya cuma menuntut kenaikan upah. Tuntutan diajukan setelah
pihak manajemen PT Mayora Indah menaikkan upah sebesar 18 persen.
Buruh minta kenaikan sebesar 30 persen. Dan ketika manajemen menolak,
mereka pun mogok. Sempat berlangsung sebulan, akhirnya manajemen
mengancam, kembali bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).
Sebanyak 750 memilih bekerja kembali. Artinya, menerima
kenaikan upah sebesar 18 persen. Sisanya, dan jumlahnya terbanyak,
1.361 orang tetap menolak dan melanjutkan aksi mogok. Akhirnya
manajemen menempuh jalur hukum dan berhasil memperoleh izin mem-PHK
ke-1.361 buruh tersebut.
Sejak itu pula, perjuangan buruh bukan lagi ihwal kenaikan upah,
tetapi mengadakan demo-demo ke berbagai instansi agar bisa kembali
bekerja. Tetapi, upaya kembali ke perusahaan itu ternyata tak mudah.
Berikut ini liku-liku dan peristiwa yang menyertai aksi mogok para
buruh itu sejak 20 April 1999 lalu.
Text Box: 1Kamis (17/6) pagi mulai pukul 07.00, eks buruh PT Mayora Indah
produsen makanan ringan dan permen-mulai berdatangan ke pabrik tempat
mereka selama ini bekerja. Tujuannya, menerima pembayaran sisa upah
kerja bulan Mei 1999.
Seiring makin tingginya Matahari, jumlahnya semakin banyak.
Kerumunan makin banyak. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, kerumunan
yang sebagian besar perempuan itu akhirnya menutup jalan. Ruas Jl
Telesonik, persis di depan pabrik PT Mayora, di kawasan Jatake,
Jatiuwung, Kotamadya Tangerang, tak lagi bisa dilalui. Lalu lintas
terputus bagi semua kendaraan roda empat atau lebih, hanya sepeda motor dan sepeda bisa lewat.
Puluhan polisi dan anggota TNI AD dari Polres dan Kodim Tangerang
berjaga-jaga di pintu dan di dalam kawasan pabrik. Wajah-wajah yang
sudah tampak letih itu sepertinya mengundang tanya, ''Inikah upah
terakhir yang akan mereka terima?''. Tak ada jawaban. Hanya satu yang
sudah jelas, perselisihan mereka dengan manajemen belum juga tuntas.
Sehari sebelumnya, Rabu (16/6) 1999, mereka sempat pula berurusan
dengan polisi dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, menyusul unjuk rasa
yang mereka gelar di Kantor Bapepam, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Bersama mereka, Wardah Hafidz, Koordinator Konsorsium Kemiskinan Kota, turut pula ditangkap polisi, walau kemudian beberapa jam kemudian
dilepas kembali.
Sebelum itu beberapa hari sebelumnya, eks buruh Mayora itu juga
diangkut ke markas Polda Metro Jaya. Penyebabnya, mereka tidak diminta
untuk bubar ketika berunjuk rasa di kantor pusat PT Mayora. Mereka
bahkan menginap di situ.
Ke-1.361 eks buruh PT Mayora Indah itu selama dua bulan terakhir
telah menjadi "bintang" semua aksi unjuk rasa buruh pabrik dalam
paruh pertama tahun 1999 ini, setidaknya di daerah Tangerang.
Puncaknya adalah unjuk rasa di depan Kantor Depnaker pusat di Jakarta,
Selasa (1/6) lalu, ketika mereka menutup jalan tol dalam kota, yang
menyebabkan lumpuhnya lalu lintas selama beberapa jam.
Beberapa jam sebelum sampai di Jakarta dan kemudian menduduki
jalan tol, mereka sempat beraksi di depan pabrik di Jl Telesonik.
Bubar dari tempat itu, lalu berjalan kaki sekitar empat kilometer
melalui Jl Gatot Subroto, Kotamadya Tangerang, menuju terminal Cimone,
Tangerang, untuk mencari kendaraan umum yang bisa membawa mereka ke
Depnaker di Jakarta.
Pendudukan jalan tol itu merupakan ulangan aksi serupa yang mereka lakukan seminggu sebelumnya, Selasa (25/5). Kala itu sasaran mereka,
jalan tol Merak-Jakarta. Selama sekitar dua jam duduk-duduk di jalan tol Merak-Jakarta Km 26,5 di kawasan Bitung, Tangerang, aksi buruh Mayora mengakibatkan kelumpuhan total. Untuk melanjutkan perjalanan, kendaraan dari arah Merak ke Jakarta terpaksa keluar dari gerbang tol Balaraja.
Sebaliknya, kendaraan dari arah Jakarta ke Merak, keluar tol melalui
gerbang Serpong, menghindari kelumpuhan.
Selain aksi-aksi di jalan tol, mereka pun beberapa kali berunjuk
rasa di kawasan pabrik, kantor Depnaker Tangerang, kantor pusat PT
Mayora di kawasan Tomang, Jakarta Barat. Mereka juga pernah menginap
berhari-hari di kantor Depnaker Tangerang dan Depnaker pusat.
"Kami akan berjuang terus sampai bisa bekerja kembali," ujar
beberapa buruh ketika berkerumun hendak mengambil upah.
Sampai kapan perjuangan mereka bisa berakhir, tidak bisa diketahui
pasti. Persoalan antara buruh dan manajemen PT Mayora, saat ini tengah
ditangani PTUN. Itu terjadi setelah pengelola PT Mayora melakukan
banding, terhadap keputusan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker), Fahmi
Idris, yang sebelumnya memveto putusan P4P (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan) Pusat. Namun keputusan Mennaker agar buruh Mayora yang sebelumnya terkena PHK dapat diterima bekerja kembali, ternyata tidak digubris pengusaha. Manajemen Mayora tetap dengan keputusannya.
Sebelum veto Mennaker keluar, Senin (31/5), P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) memutuskan untuk
mengabulkan permohonan manajemen PT Mayora yang menginginkan untuk
mem-PHK 1.361 buruhnya. Keputusan P4P (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan) itu dianggap buruh berpihak
kepada pengusaha. Buruh juga menganggap, keputusan PHK memang
diinginkan manajemen PT Mayora, dan itu merupakan cerminan sikap arogan pengusaha yang kurang peduli terhadap nasib mereka.
Keputusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)  terhadap buruh Mayora antara lain, memberi izin
kepada pengusaha untuk mem-PHK, mewajibkan kepada pengusaha membayar uang pesangon dan jasa sebesar satu kali pasal 21 dan pasal 22 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) No 03/1996. Memberikan uang fasilitas pengobatan dan perawatan sebesar lima persen dari jumlah uang pesangon dan jasa, serta upah penuh 100 persen untuk gaji Mei 1999.
(agus mulyadi) Blokir Jalan - Aksi unjuk rasa buruh PT Mayora ke Departemen Tenaga Kerja sempat memblokir jalan tol dan jalan arteri, 1 Juni lalu. Mennaker membela nasib buruh dengan memveto putusan P4P yang
merugikan buruh, namun PT Mayora mengajukan banding atas veto
tersebut. Nasib buruh itu kini masih terombang-ambing. Perjalanan panjang buruh mayora Hingga Rabu (2/6) malam, eks buruh PT Mayora Indah masih bertahan di depan kantor Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) di Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Mereka sudah bertekad terus berjuang sampai persoalan mereka diselesaikan oleh Depnaker.
"Kalau Bapak saja tidak mau membukakan pintu, ke mana lagi kami
akan mengadukan nasib kami?" kata sejumlah buruh sambil terisak
menahan tangis. Selain tertutup, pintu yang terbuat dari stainless
steel mengkilap itu bahkan masih dilingkari kawat berduri di atasnya. Tidak seperti hari hari pertama, kemarin para buruh itu tidak
menduduki jalan tol dan jalur arteri. Mereka hanya duduk-duduk di
sepanjang bahu jalan di sekitar gedung Depnaker. Meski demikian, aksi
di tengah kemacetan lalu lintas masa kampanye putaran ketiga itu tetap
saja menghambat lalu lintas karena para pengendara memperlambat laju
kendaraannya untuk melihat apa yang terjadi. "Mereka telah berjanji
tidak akan menutup jalan tol lagi," kata Kapolres Metro Jakarta
Selatan Letkol (Pol) Satrya Hari Prasetya.”
Kehadiran para eks buruh PT Mayora Indah itu bukanlah yang
pertama. Sekitar bulan April 1999 mereka sudah datang, bahkan sempat
menginap selama delapan hari di halaman Depnaker. Akhirnya Depnaker
meminta buruh memilih, dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau
kembali bekerja. Namun, ketika mereka kembali ke Jatiuwung Tangerang, pintu pabrik sudah tertutup bagi mereka. Bahkan, sebagian, sebanyak 1.361 orang lalu dikenakan PHK.
Awal dari deretan peristiwa itu adalah keinginan memperjuangkan
perbaikan kesejahteraan di masa krisis ekonomi se-karang. Menurut
sejumlah buruh, mereka minta kenaikan upah karena pihak perusahaan
pun dalam masa krisis tetap saja memperoleh untung. Buruh menuntut kenaikan upah sebesar 30 persen, setelah beberapa
waktu sebelumnya manajemen PT Mayora hanya menaikkan 18 persen.
Tuntutan lainnya, uang makan dari Rp 1.000 menjadi Rp 4.000 per hari,
PPH ditanggung perusahaan dan uang shift kerja Rp 1.500 per hari.
Tuntutan buruh itu tidak ditanggapi pihak manajemen PT Mayora.
Karena itu, selama beberapa hari mereka melakukan unjuk rasa di kawasan pabrik di Jl Telesonik, Jatiuwung. Sampai akhirnya mengadu
beberapa kali ke Depnaker Tangerang dan Depnaker di Jakarta. Buruh-buruh itu mulai resah setelah manajemen mengumumkan akan
melakukan PHK, dan semakin resah setelah PT Mayora menyatakan, hanya
bersedia membayar pesangon sebesar setengah dari Peraturan Menteri
Tenaga Kerja (PMTK).
Buruh mau menerima PHK asal manajemen PT Mayora
memberikan pesangon 10 kali PMTK. Pihak Depnaker Tangerang akhirnya meneruskan kasusnya untuk diselesaikan di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4-Pusat (P4P). P4P pertama kali bersidang tanggal 17 Mei 1999.
Buruh Mayora yang terancam PHK itu, terus melakukan unjuk rasa.
Bahkan pada 25 Mei lalu, mereka melancarkan unjuk rasa di jalan tol
Jakarta-Merak, Km 26,5, di daerah Bitung Tangerang. Selama sekitar dua
jam, mulai pukul 09.30-11.30, mereka menutup jalan tol dan melakukan
sejumlah orasi di tempat itu. Akibatnya, terjadi kemacetan di jalan
bebas hambatan, baik dari arah Jakarta-Merak maupun sebaliknya.
Pada hari Selasa (1/6), 1.361 buruh PT Mayora yang sudah terkena
PHK, kembali melakukan unjuk rasa. Sebagian sempat melempari para
buruh PT Mayora (sekitar 750 orang) yang berada di dalam pabrik.
Rupa-nya, ke-750 buruh PT Mayora itu mau menerima keputusan perusahaan
dan kembali bekerja. Sedangkan 1.361 lainnya menolak sampai akhirnya
mereka terkena PHK.
Dari lokasi pabrik para buruh turun ke Jl Gatot Subroto,
Tangerang. Berjalan kaki mereka menuju terminal Cimone, Tangerang,
dan seterusnya menuju ke Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) di Jl
Gatot Subroto Jakarta. Selama sekitar sembilan jam mereka menduduki
jalan tol dalam kota yang mengakibatkan lumpuhnya lalu lintas di
jalur Kuningan-Cawang.
Kepala Depnaker Tangerang Apon Sunarya kepada Kompas, Selasa (1/6) sore menyatakan, kalau 1.361 buruh PT Mayora itu tidak puas dengan
keputusan P4P, sebaiknya mereka menempuh jalur hukum. "Para pekerja
itu bisa banding kepada Menteri Tenaga Kerja, agar keputusan P4P
ditinjau kembali," katanya. Apon menyebutkan, keputusan P4P bukan merupakan keputusan Depnaker. Dalam P4P terdapat sekitar 10 orang yang berasal dari Depnaker, Apindo, SPSI, serta dinas dan instansi lainnya. "Depnaker kalah suara, karena di dalam P4P hanya diwakili dua orang," kata Apon.
B.       Rumusan Masalah
1.         Dalam kasus ini adakah kebijakan Publik?
2.         Apakah keputusan untuk menyelesaikan melalui upaya musyawarah merupakan kebijakan publik?
3.         Apakah dimungkinkan menyelesaikan sengketa TUN secara musyawarah (di luar pengadilan) pada saat proses pemeriksaan sedang berlansung? Dapatkah gugatan yang telah diajukan tersebut dicabut?
4.         Upaya apa yang dapat dilakukan seandainya salah satu pihak yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Dalam kasus ini adakah kebijakan Publik
Dalam kasus ini termasuk kebijakan Publik dikarenakan keputusan tersebut dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja, oleh sebab itu pengelola PT Mayora melakukan banding, terhadap keputusan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker), Fahmi Idris, yang sebelumnya memveto putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) Pusat. Namun keputusan Mennaker agar buruh Mayora yang sebelumnya terkena PHK dapat diterima bekerja kembali.
B.       Apakah Keputusan untuk menyelesaikan melalui upaya musyawarah merupakan kebijakan publik
Keputusan untuk menyelesaikan melalui upaya musyawarah bukan kebijakan publik dikarenakan kebijakan tersebut diluar Keputusan Pemerintah bahwa musyawarah adalah merupakan suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.
Text Box: 9Masalah kebijakan publik maka tidak akan terlepas dari sebuah institusi yang namanya Pemerintah. Dialah pelaksana dari sekian banyak kebijakan yang telah disepakati diranah parlemen. Menurut Teori mengenai terbentuknya birokrasi, pemerintah terbentuk dari serangkaian kesepakatan (kontrak sosial) dari suatu masyarakat disuatu wilayah tertentu. Hal ini berdasarkan teorinya JJ Rosseau didalam karyanya yang terkenal yaitu Du Contract Social. Melihat Sejarahnya seperti yang dikemukakan diatas memang sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjalankan amanah yang sudah diberikan oleh rakyat secara legal untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat terutama rakyat kecil.
Didalam kehidupan sehari-hari masyarakat tentu tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Meminjam teorinya Thomas R Dye yang mengatakan bahwa kebijakan adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah, artinya disini apapun yang dilakukan maupun tidak memiliki konsekuensi atau dampak terhadap masyarakat luas.
C.      Apakah dimungkinkan menyelesaikan sengketa TUN secara musyawarah (di luar pengadilan) pada saat proses pemeriksaan sedang berlansung? Dapatkah gugatan yang telah diajukan tersebut dicabut?
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/tenaga kerja diluar pengadilan. Dalam hukum acara PTUN meyelesaikan sengketa TUN secara musyawarah, Persoalan antara buruh dan manajemen PT Mayora ketentuan ini diatur dalam pasal 62 UU PTUN.  Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 RV).
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
D.      Upaya apa yang dapat dilakukan seandainya salah satu pihak yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama?
Berdasarkan Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat  (5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Ayat (6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.        Dalam kasus ini adakah kebijakan Publik
Dalam kasus ini termasuk kebijakan Publik dikarenakan keputusan tersebut dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja, oleh sebab itu pengelola PT Mayora melakukan banding, terhadap keputusan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker), Fahmi Idris, yang sebelumnya memveto putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) Pusat. Namun keputusan Mennaker agar buruh Mayora yang sebelumnya terkena PHK dapat diterima bekerja kembali.
2.        Apakah Keputusan untuk menyelesaikan melalui upaya musyawarah merupakan kebijakan publik
Keputusan untuk menyelesaikan melalui upaya musyawarah bukan kebijakan publik dikarenakan kebijakan tersebut diluar Keputusan Pemerintah bahwa musyawarah adalah merupakan suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.
Text Box: 13Masalah kebijakan publik maka tidak akan terlepas dari sebuah institusi yang namanya Pemerintah. Dialah pelaksana dari sekian banyak kebijakan yang telah disepakati diranah parlemen. Menurut Teori mengenai terbentuknya birokrasi, pemerintah terbentuk dari serangkaian kesepakatan (kontrak sosial) dari suatu masyarakat disuatu wilayah tertentu. Hal ini berdasarkan teorinya JJ Rosseau didalam karyanya yang terkenal yaitu Du Contract Social. Melihat Sejarahnya seperti yang dikemukakan diatas memang sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjalankan amanah yang sudah diberikan oleh rakyat secara legal untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat terutama rakyat kecil.
Didalam kehidupan sehari-hari masyarakat tentu tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Meminjam teorinya Thomas R Dye yang mengatakan bahwa kebijakan adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah, artinya disini apapun yang dilakukan maupun tidak memiliki konsekuensi atau dampak terhadap masyarakat luas.
3.        Apakah dimungkinkan menyelesaikan sengketa TUN secara musyawarah (di luar pengadilan) pada saat proses pemeriksaan sedang berlansung? Dapatkah gugatan yang telah diajukan tersebut dicabut?
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/tenaga kerja diluar pengadilan. Dalam hukum acara PTUN meyelesaikan sengketa TUN secara musyawarah, Persoalan antara buruh dan manajemen PT Mayora ketentuan ini diatur dalam pasal 62 UU PTUN.  Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan penggugat, maka akan dikabulkan hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 RV).
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
4.        Upaya apa yang dapat dilakukan seandainya salah satu pihak yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama?
Berdasarkan Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat  (5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Ayat (6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dapat dituntut kembali apabila manajemen PT Mayora tidak menempati janji terhadap Eks buruh PT Mayora maka dapat di Pidana atau di Perdatakan, Unsur dari Pidana ingkar janji berkata-kata bohong sedangkan Perdata dapat ganti rugikan.









DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Agnes M. Toar, at. All. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1995.

Sukamto Satoto, Pengaturan Eksistensi dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara, Cv Hanggar Kreator, Banguntapan Yogjakarta. 2004.

Kelulung Bukit, Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di Dalam dan Di Luar Pengadilan. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2004.

Orfan fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. 2004.

Edi Suahrto, Analisis Kebijakan Publik, Ikatan Penerbit Indonesia, Jawa Barat. 2005

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Liberty, Yogjakarta. 2007.

H. R. Abdussalam. 2009. Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah Direvisi. Jakarta: Restu Agung.

B.     Undang-undang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

lingkungan