hukum dan Ham
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah suatu system yang sangat penting dalam
menyelenggarakan suatu kekuasaan atau pun pemerintahan. Dengan adanya hukum,
suatu pemerintah akan dapat memagari pelaksanaan pemerintah yang lebih epektif.
Hukum dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan suatu pemerintahan atau lembaga
serta untuk menjaga ketertiban didalam lingkungan masyarakat dengan memberikan
sanksi kepada yang melakukan pelanggaran.
Suatu Negara dapat berjalan dengan baik salah
satunya adalah dikarenakan hukum yang baik pula. Negara yang menjunjung
tinggi penegakan hukum dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Disebut
juga Negara hukum.
Begitu pula di Indonesia, Indonesia adalah suatu Negara
hukum yang menjunjung Negaranya untuk menjalankan hukum atas dasar hukum yang
adil dan baik. Di Indonesia hukum telah tersusun dengan rapih dan terstruktur.
Kalau sudah seperti itu, saya rasa Negara Indonesia hanya tinggal
melaksanakannya dan menjalankannya dengan baik tanpa harus ada penyimpangan
yang dapat merapuhkan Negara kita sendiri.
Akan tetapi apakah Negara Indonesia
sampai saat ini telah menjadi Negara hukum yang sesungguhnya dalam arti telah
menjalankan hukum atas dasar hukum yang adil dan baik? atau malah masih ada
terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan hukum tersebut atau bahkan
sering terjadi.
Putusan-putusan hakim terhadap bebagai kasus yang
seharusnya adalah dapat mencerminkan ideologi hukum. Hal tersebut sangat
penting bagi pendidikan hukum di Indonesia. Walaupun demikian itu merupakan hak
daripada hakim dalam memutuskan perkara di setiap kasus persidangan, jadi kita
harus hormati hal tersebut. Dan mungkin para hakim tersebut lebih mengetahui
kasus apa yang sedang ditanganinya itu.
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di
Indoneseia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin
perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut
pada beberapa kesempatan telah “kebablasan” bahkan berujung pada konflik
horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik
ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat
otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata.
Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin
ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu
(genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan
etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai
penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku
tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnis, ras, warna kulit, budaya,
bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku
tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara
atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak
sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat
(gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia
Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak
asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian
berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan,
penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran
sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang.
Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.
Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus
pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral
Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan
amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan
kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah penegakan
hukum itu?
2.
Apakah itu kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM
yang berkategori berat?
3.
Bagaimanakah upaya
perlindungan HAM itu?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum
Penegakan Hukum (law
enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran
atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur
peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam
pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula
segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif
yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut
kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya –yang lebih sempit lagi— melalui
proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang
peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi,
jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama
sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum
tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri.
Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi
dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat
penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum
terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized).
Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan
melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai
faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang rasional.
Untuk meningkatkan
kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem
sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem
kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan
pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan
kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari
program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum
tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan
demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar
dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di samping itu, pembinaan
kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan melalui peningkatan
keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia,
Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu,
agenda penegakan hukum juga memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan
yang memenuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi
penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti;
Kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan
yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas kepribadian orang yang
taat aturan.
Salah satu aspek
penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan,
dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa
didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam
masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak
dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan
hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide negara
hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait dengan soal ini adalah
a)
pembangunan dan
pengelolaan sistem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi
informasi (information technology);
b)
peningkatan Upaya
Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi Hukum;
c)
pengembangan pendidikan
dan pelatihan hukum; dan
d)
pemasyarakatan citra
dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.
Oleh karena itu,
memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi
menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun
pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The
Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum
saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari
keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering
mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa
yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam
UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat
sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam
kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun
suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan
Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
B. Kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM yang berkategori
berat
Dengan bergulirnya
reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi
menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional
atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan
atas kekuasaan belaka. Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak
asasi manusia.
Kewajiban menghormati
hak asasi manusia tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai
keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan
untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran. Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi
setelah amandemen kedua (18 Agustus 2000) terdapat pada Bab X,
Bab XA,Bab XI, Bab XII, dan Bab XIII.
Dalam perspektif
nilai-nilai universal, kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia,
bukan hal baru. Nilai-nilai HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri setiap manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus
dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan , dikurangi atau dirampas oleh
siapa pun. Dalam konteks internasional, upaya untuk mewujudkan penghormatan dan
perlindungan nilai-nilai HAM tersebut, antara lain terdokumentasi dalam suatu human
right law yang secara populer dikenal dengan istilah The
International Bill of Human Rights (berisi empat dokumen PBB yaitu Universal
Declaration of Human Rights 1948, International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights 1966, International Covenant on Civil and Political 1966
dan Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political
Rights 1966).[1]
Perlindungan hak
asasi manusia di Indonesia secara lebih jelas dan terinci diatur pada
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang
tersebut secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup, dan hak untuk tidak
dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama.
Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta
tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penekan hak asasi manusia.
Kejahatan hak asasi
manusia sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat, adalah extra
ordinary crimes (kejahatan luar biasa) dan berdampak secara luas baik
pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta menimbulkan
kerugian baik materiel maupun immateriel yang mengakibatkan perasaan tidak aman
baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban,
ketentraman, kedailan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam konteks diatas jenis dan indikator kejahatan HAM
yang bersifat berat, meliputi :
1.
Kejahatan Genosida,
yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :
a) membunuh anggota kelompok;
b) mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d) memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e) memidahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2.
Kejahatan terhadap
Kemanusiaan (crimes against humanity), yaitu salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa :
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i)
penghilangan orang
secara paksa; atau
j)
kejahatan apartheid
(Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000).
Harus diakui, bahwa istilah “Kejahatan HAM” relatif
baru mengemuka sebagai wacana , sekaligus tuntutan publik untuk
menyelesaikannya di saat orde reformasi terus bergulir, dengan euphorianya
berusaha “menguliti” berbagai macam kejahatan di masa sebelumnya. Diantara
kejahatan masa lalu yang dalam beberapa tahun terakhir ini mendapat sorotan
tajam ialah jenis kejahatan (kekerasan) struktural yang melibatkan aparat negara,
terutama militer, dengan korban penduduk sipil.
Kasus-kasus seperti kasus Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh, Tanjung Priok, 27 Juli, Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, Semanggi I
dan II, dan Triskati, adalah sederetan contoh yang telah melahirkan kesadaran
sekaligus desakan dari berbagai kalangan yang peduli terhadap perlunya
perlindungan hak-hak asasi manusia melalui piranti hukum dan kinerja institusi
penegaknya.
Adapun 5 penghambat penegakan
hukum dan HAM tahun 2010 yaitu:[2]
1.
Proses legislasi nasional
terbukti telah mengagendakan RUU yang mengancam kebebasan dasar manusia seperti
RUU Zakat, RUU Rahasia Negara, dan sebagainya.
2.
Kebijakan hukum dan
HAM akan semakin jauh dari penghormatan HAM, yang tercermin dari sikap dan
kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan fundamental, seperti beragama dan
berkeyakinan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers.
3.
Penyelesaian
kasus-kasus besar, skandal Bank Century, pembunuhan Munir akan mengalami
hambatan serius dan menjauhkan dari keadilan.
4.
Pemberantasan mafia
peradilan hanya akan menyentuh kulit luar dan tebang pilih.
5.
Sulit untuk
mewujudkan kesejahteraan, karena tidak ada perspektif lain dalam
pembangunan, kecuali yang
didorong oleh pemerintah, sebab parlemen hanya mengamini.
C.
Upaya Perlindungan HAM
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai
tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM
terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat
melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang
dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah yang memiliki tugas
utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana
hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah
: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2)
memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara
meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu
terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi
apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran
HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya
beberapa problem yang menyertainya:
a) Secara yuridis upaya tersebut akan bertentangan dengan
asas legalitas.
b) Sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka
melaksanakan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian
tentunya sangat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan HAM
hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan negara. Pandangan
inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM
mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
c) Konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di
Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran
implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc.
d) Beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam
undang-undang Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan
kelompok-kelompok tertentu untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas
kejahatan HAM.
Misalnya ketentuan
dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengadilan HAM ad hoc terhadap
kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan Presiden. Pengalaman
empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik terhadap implementasi
UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya memperadilankan secara ad hoc
kasus Tri Sakti dan Semanggi.
Berdasarkan keempat kendala tersebut diatas, dapat
kita kaji satu per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut. Pertama
untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas legalitas, maka ada
ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999). Prinsip tersebut
sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra ordinary
crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan langkah-langkah
penanganan yang luar biasa. Kedua adalah adanya hambatan yang bersifat politis
sebagai akibat dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua tersebut dapat
diatasi dengan pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif yaitu menjadikan
hukum sebagai panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis. Bahwa setiap
pembuat kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di lapangan bertanggungjawab
secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak berbuat/ melakukan
pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai kewenangan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat dijerat dengan
ketentuan hukum tentang HAM.
Kendala ketiga adalah konsep hak asasi manusia sebagai
wacana yang relatif baru di Indonesia, sulit untuk diimplementasikan. Hal
tersebut tidak seluruhnya benar, namun dalam beberapa kesempatan memang ada
beberapa kendala sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep HAM.
Kendala tersebut tidak hanya dialami oleh aparat penegak hukum, namun juga oleh
masyarakat secara luas dan aparatur keamanan. Kelemahan pemahaman tentang hak
asasi manusia bagi kalangan aparatur negara bagi sipil maupun militer mengakibatkan
keragu-raguan dalam melaksanakan kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya.
Hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia atau takut dicap repreif seperti rezim orde baru. Pemahaman tentang
konsep hak asasi manusia bagi seluruh kalangan/ lapisan masyarakat sebenarnya
menjadi tugas bersama Komnas HAM dan seluruh warga bangsa melaluicivil
education/ pendidikan kewarganegaraan.
Tujuan Komnas HAM sebagaimana amanat konstitusi
sebagai lembaga mandiri adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mencapainya
Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan
dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan civil
education, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan penyebarluasan
wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat, meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non
formal serta berbagai kalangan lainnya, serta bekerja sama dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Kendala keempat yaitu adanya kepentingan
kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan
atas kejahatan HAM, dapat diatasi melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum
di kalangan politisi dan mendorong political will DPR yang mempunyai kewenangan
merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk
melakukan “sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat benar-benar terjaga
“kebersihannya” dari interrest-interrest politik alias tetap fair dan obyektif
yuridis.
Konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat
dilakukan juga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR apabila
kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui penyelidikan
secara mendalam oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan mengalami banyak
kendala jika diselesaikan melalui jalur pengadilan. Upaya-upaya tersebut diatas
untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau diharapkan dapat
berjalan dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM dapat tercapai dan dapat
mencegah terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa dimasa mendatang. Dengan
penegakan hukum dan keadilan maka perlindungan hak asasi manusia warga negara
Indonesia dapat tercapai sesuai cita-cita negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Penegakan Hukum (law
enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran
atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur
peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). dalam
pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula
segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif
yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya.
2.
Kejahatan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM
yang berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan
luar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasional serta menimbulkan kerugian baik materiel maupun immateriel yang
mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat,
sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk
mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
3.
Upaya perlindungan
HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran
HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan
kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya
pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah
yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak
asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada
intinya tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B.
Saran
Peningkatan pemahaman terhadap konsep hak asasi
manusia kepada seluruh komponen masyarakat perlu lebih ditumbuh kembangkan dan
diperdalam, sesuai doktrin hukum yang bersifat universal, yaitu hukum sebagai
sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat (social reform). Dan
karena itu ketidaktahuan atau kekurang pahaman masyarakat akan hukum tentang
perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi
dan pembudayaan hukum secara sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Denny J.A. “KPP HAM versus Para
Jenderal”. Artikel pada Harian Jawa Pos. 14 Februari 2002.
Muladi. 1999. Hak Asasi
Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
UNDIP.
Penegakan Hukum dan Peningkatan
Demokrasi di Indonesia. Makalah. Juli 1997. Semarang.
M. Kholiq, Abdul. Beberapa
Catatan Kritis Peradilan HAM dalam Hukum Positif Indonesia. Jurnal Magister
Hukum. Vol.2. Juni 2002.
Prasetyo, Eko. 2001. HAM:
Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Yogyakarta: Insist Press &
Pustaka Pelajar.
Riewanto, Agust. “Pelanggaran HAM
dan Asas Retro Aktif”. Suara Merdeka. 16 Februari 2002.
Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan
Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia”. Makalah. 30 April 2002. Yogyakarta.
B.
Undang-Undang
Undang-undang Republik Indonesi Nomor.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komentar
Posting Komentar