BAB
II
KERAJAAN
– KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA
A.
Kerajaan
Perlak
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang
pertama kali di Indonesia. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (9 M).
Dikatakan bahwa pada tahun 173 H, ada sebuah kapal layar berlabuh di Bandar
Perlak membawa angkatan dakwah. Dalam rombongan itu di pimpin oleh nahkoda
khalifah. Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayid Abdul Aziz (raja pertama
Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Pada akhir abad ke 12, di Pantai Timur Sumatera terdapat negara Islam yang
bernama Perlak. Tapi nama itu kemudian dijadikan sebutan Peureulak. Negara
Islam ini didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Persia, Maroko,
Gujarat yang menetap di wilayah tersebut. Pendirinya adalah orang Arab dari
suku Quraisy. Semenjak awal abad ke 12, pedagang Arab itu menikah dengan putri
asli daerah tersebut, keturunan raja Perlak. Dari perkawinannya dia mendapatkan
seorang anak yang bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz inilah yang
menjadi raja pertama negeri Perlak. Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada
pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan
berdaulat. Pada era pemerintahannya, kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat
terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah.
B.
Kerajaan
Samudera Pasai
Kerajaan samudera pasai terletak di Aceh
dan di pesisir timur Laut Aceh. Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai belum bisa
di pastikan dengan tepat. Dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Malik
Al-Saleh adalah raja pertama kerajaan Samudera Pasai, dia juga pendiri kerajaan
tersebut. Dalam hikayat raja-raja pasai disebutkan bahwa nama Malik Al-Saleh
sebelum menjadi seorang raja adalah merah Sile atau merah Selu. Malik Al-Saleh
masuk Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dari Syekh Ismail beserta
rombongan yang datang dari Makkah. Samudera Pasai ketika itu adalah pusat
belajar agama Islam dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai negeri Islam.
Untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Selain itu, Sultan
Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah
Nusantara. Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan
kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Teokrasi (berdasarkan ajaran Islam)
rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina
persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka. Selama abad
ke-13 sampai awal abad ke-16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota
dengan Bandar Pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat
perdagangan Internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor
utama. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang
yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah
satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
C.
Kerajaan Aceh
Pada awalnya, wilayah Kerajaan Aceh ini
hanya mencakup daerah Banda Aceh dan Aceh Besar. Yang dipimpin oleh ayah Ali
Mughayat Syah. Saat Mughayat Syah naik kedudukan menggantikan ayahnya, beliau
berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya.
Termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Kerajaan-kerajaaan kecil yang berada
disekitar Aceh juga di taklukan Mughayat Syah. Seperti Kerajaan Peurelak,
Pedir, Daya dan Aru. Sejak saat itu kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama
Aceh Darussalam. Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling cerah
bagi Aceh. Dimana kekuasaannya berkembang dan terjadi penyebaran Islam hampir
di seluruh Sumatera. Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam
menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun
Masjid Baiturrahman, rumah-rumah Ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam.
Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri,
Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.
D.
Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Minangkabau juga di kenal dengan
sebutan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Minangkabau adalah salah satu Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri. Meliputi Provinsi Sumatra Barat saat ini, dan
daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman
sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan
Islam. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16 H.
Yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh
dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil
(Tengku Syiah Kuala). Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap
pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17 H, Kerajaan
Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama
dalam riwayat adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya
agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai
dihilangkan. Dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama
Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal adalah Adat Basandi Syarak dan
Syarak Basandi Kitabullah. Yang artinya adat Minangkabau berdasarkan pada agama
Islam. Sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran dan Hadits. Pengaruh
agama Islam membawa perubahan secara mendasar terhadap adat Minangkabau. Islam
juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung. Hal itu
dibuktikan dengan ditambahnya unsur pemerintahan, seperti Tuan Kadi dan beberapa
istilah lain yang berhubungan dengan Islam.
E.
Kerajaan Riau
Sebelum masuknya agama Islam wilayah Riau,
tidak ada satu pun dari penduduk Riau yang memegang agama tauhid. Agama
penduduk asli adalah Anismisme, yang percaya ruh nenek moyang dan para leluhur.
Kemudian menyusul pada sebagian penduduk mereka yang beragama Budha dan sekali
berkembang menjadi Hindu-Budha. Wilayah Riau Kuntu-Kampar adalah daerah pertama
di Riau yang berhubungan dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini
dimungkinkan karena sejak zaman Bahari, daerah ini telah berkaitan erat dengan
pedagang-pedagang asing dari negeri Cina, India, dan Arab (Persia). Hubungan
tersebut didasarkan oleh kepentingan perdagangan. Karena daerah lembah Sungai
Kampar kanan atau kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar yang pertama kali
dimasuki agama Islam.
F.
Kesultanan Palembang
Pada waktu itu daerah Palembang menjadi
bagian dari Kerajaan Majapahit. Di daerah ini ditempatkan seorang Adipati
bernama Ario Damar pada tahun 14-15 H (1447 M). Pada awalnya dia memeluk agama
hindu, lalu kemudian masuk agama islam.
G.
Kerajaan Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam
yang berkedudukan di Provinsi Jambi sekarang ini. Kerajaan Jambi ini berbatasan
dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan-Kerajaan Minangkabau seperti Siguntur
dan Lima Kota di Utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan
Palembang (Keresidenan Palembang). Kesultanan Jambi juga menguasai Lembah Kerinci,
meskipun pada masa akhir kekuasaannya tidak lagi diperdulikan lagi. Ibukota
Kesultanan Jambi terletak di Kota Jambi, yang terletak di pinggir Sungai
Batanghari.
BAB
IV
KERAJAAN
ISLAM DI KALIMANTAN
Masjid Sultan Suriansyah Kerajaan Banjar
Foto: IST
Islam mengakar kuat di pulau
kalimantan, seiring dengan perkembangan islam di bumi nusantara. Ada banyak teo
ri tentang kapan islam masuk di kalimantan. Marzuki dalam tarikh dan kebudayaan
islam menjelaskan, di pulau kali mantan islam masuk melalui pintu timur.
Kalimantan timur pertama kali diislamkan oleh datuk ri bandang dan tunggang
parangan.Kedua
mubalig ini datang ke Kutai (Kalimantan Timur) setelah orang-orang Makassar
masuk Islam. Proses Islamisasi di sini dan daerah sekitarnya diperkirakan
terjadi sekitar 1575 M. Teori lain menya takan, Islamisasi Kalimantan mungkin
berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Bru nei. Pada masa itu, Brunei merupakan
pelabuhan dagang yang paling terkenal di Kalimantan. Menurut Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional III, di seluruh
Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, baik yang besar
maupun yang kecil. Berikut ini tiga kerajaan Islam yang pernah eksis di
Kalimantan.
A.
Kerajaan
Banjar
Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah
hulu Sungai Nagara di Amuntai kini. Raden Samudra dinobatkan sebagai raja
Banjar oleh Patih Masiri, Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu menghadapi
peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan Demak sehingga mendapat
kemenangan. Sejak itulah penguasa Kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam
dengan gelar Sultan Suryanullah. Islamisasi di daerah ini terjadi sekitar 1550
M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah Kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya
sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan
Sambangan.
B.
Kerajaan
Kutai
Kerajaan Kutai
terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yaitu di sekitar pertemuan
Sungai Mahakam dengan anak sungainya. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua
di Indonesia. Dulunya kerajaan ini bercorak Hindu. Karena letak kerajaan yang
strategis, yakni berada di jalur perdagangan antara Cina dan India sehingga
menunjang ekonomi kerajaan dan menjadi pintu masuknya bagi agama Islam. Kedatangan
Islam di Kalimantan Timur dapat diketahui dari Hikayat Kutai, yang menyatakan
bahwa pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang
bernama Tuan ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Mereka datang di daerah
Kutai setelah mengislamkan masyarakat Sulawesi Selatan. Peristiwa ini terjadi
pada akhir abad ke-16. Pada abad ke-17, aga ma Islam mulai diterima dengan baik
oleh Ke rajaan Kutai Kertanegara dan rakyat-rakyatnya.
C.
Kerajaan
Pontianak
Kesultanan
Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan
termuda yang lahir di wilayah Kalimantan Barat. Sebelumnya, telah banyak
terdapat kesultanan atau kerajaan lainnya yang telah lebih dulu berdiri di
wilayah ini. Seperti Kerajaan Landak (1472M), Matan (16M), Mempawah (16M),
Sambas (17M), dan lainnya. Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai
Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya
Masjid Ra ya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Ka dariah, yang sekarang
terletak di Kelurahan Da lam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Ia me merintah
dari tahun 1771-1808. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Pontianak terus
mengalami kemajuan hingga menjadi kekuatan baru di wi la yah Kalimantan Barat
dalam aktvitas perda gang an nya. Hal ini karena posisi kerajaan yang strate
gis sehingga banyak pedagang asing yang singgah.
BAB
V
KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI DAN MALUKU
BESERTA
PENJELASANNYA
Agama Islam menyebar ke seluruh Nusantar
di mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kemudian Maluku.
Masuknya agama Islam di Sulawesi tidak lepas dari kerajaan-kerajaan yang berada
di Sulawesi. Bisa dikatakan bahwa kerajaan adalah kunci utamanya rakyat. Apabila
raja sudah menentukan maka, biasanya rakyatnya akan mengikuti.
Kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi antara lain Bone, Luwu, Soppeng, Gowa,
Tallo, dan Wojo. Sebenarnya kerajaan-kerajan tersebut pada awalnya bercorak
Hindu. Namun, setelah Kerajaan Gowa dan Tallo memeluk agama Islam.
Kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi juga ikut memeluk agama Islam.
Kerajaan Gowa-Tallo memiliki peran sejarah yang sangat penting dalam penyebaran
agama Islam di Sulawesi. Selain itu, kerajaan Gowa-Tallo juga berperan dalam
perdagangan regional dan Internasional. Proses Islamisasi di Sulawesi terjadi
karena adanya jalinan hubungan baik ekonomi dan politik. Dan kepentingan
kerajaan dengan pihak di luar Pulau Sulawesi. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam
di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung waktu itu.
Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan.
Seperti juga penyebaran agama Islam waktu di Sumatera, juga melalui
pedagang-pedagang dari Timur Tengah. Kali ini saya akan membahas tentang
kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi, yang sebelumnya juga saya memaparkan kerajaan islam di
Sumatera dan Jawa. Berikut ini
kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi :
A.
Kerajaan Gowa-Tallo
Pada abad ke-15 di Sulawesi berdiri
beberapa kerajaan, diantaranya adalah dari suku bangsa Makassar (Gowa dan
Tallo) dan Bugis (Luwu,Bone, Soppeng dan Wojo). Gowa dan Tallo merupakan
kerajaan yang memiliki hubungan baik. Kerajaan ini juga dikenal dengan sebutan
kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa dan Tallo terletak di daerah Sulawesi Selatan.
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan ini memilik posisi yang sanagat bagus.
Karena dekat dengan jalur pelayaran erdagangna
Nusantara. Selain itu, Makassar juga menjadi pusat persinggahan para pedagang,
baik yang dari jalur Barat maupun Timur. Hal ini mengakibatkan kerajaan
Makassar berkembang menjadi besar dan berkuasa atas jalur perdagangan
Nusantara. Kerajaan Gowa Tallo memiliki pengaruh dalam kerajaan Islam di
Indonesia.
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan
kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Seperti dengan kerajaan Luwu, Bone,
Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo dikalahkan oleh
Kerajaan Gowa-Tallo. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng melaksanakan
persatuan. Untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellum
Pocco, sekitar tahun 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak
Islam pada tahun 1605, Gowa meluaskan pengaruh politiknya. Kerajaan-kerajaan
yang patuh kepada Kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan
Bone pada 23 Nopember 1611. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan
oleh paramubaligh yang
disebut dengan Dato’ Tallu. Antara lain
Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’
Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib
Bungsu). Itulah para Dato’ yang mengislamkan raja-raja kerajaan Islam di
Sulawesi pada waktu itu. Yaitu raja Luwu Dato’ La Patiware’ Daeng Parabung
dengan gelar Sultan Muhammad. Beliau masuk islam pada tanggal 15-16 Ramadhan
1013 H (4-5 Februari 1605 M). Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari
Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo). Beliau masuk
islam pada Jumat sore, tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan
gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ Rangi Daeng Manrabbia.
Beliau masuk Islam pada Jumat, tanggal 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Dalam
sejarah kerajaan Gowa, Perjuangan sultan Hasanuddin dalam mempertahankan
kedaulatannya melawan penjajah VOC sangat gencar. Peristiwa peperangan melawan
VOC terus berjalan dan baru berhenti sekitar tahun 1637-1678 M. Perang ini
berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Dan perjanjian ini
sangat merugikan bagi pihak Gowa dan Tallo.
B.
Kerajaan Wajo
Menurut sumber
sejarah kerajaan Wajo yang terdapat di hikayat Lontara Sukkuna Wajo.
Menceritakan bahwa Kerajaan Wajo ini didirikan oleh tiga orang anak raja dari
Kampung tetangga Cinnotta’bi. Yang berasaal
dari keturunan dewa yang mendirikan Kampung Cinnotta’bi. Dan menjadi
raja-raja dari ketiga bagian bangsa Wajo. Antra lain, Batempola, Talonlereng
dan tua. Kepala keluarga mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar
Batara Wajo. Sejak saat itu, raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun. Namun,
melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung matoa (raja
utama ).
Selama
keempat arung-matoa dewan
pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo(pendukung panji). 30 arung-ma’bicara (raja hakim),
dan tiga duta. Sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang, mereka itulah
yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya
sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang sangat besar.
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan oleh kerajaan
Gowa dalam upaya memperluas agama Islam, dan tunduk pada tahun 1610.
Diceritakan juga pada hikayat tersebut bahwa bagaiman Dato’ Ribandang dan Dato’
Sulaeman mengajarkan agama Islam, terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya. Dato’
Ribandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran tentang masalah kalam dan
fikih. Pada tahun 1643, 1660 dan 1667, kerajaan Wajo sering membantu kerajaan
Gowa pada peperangan baru dengan kerajaan Bone. Kerajaan Wajo juga pernah di
taklukan oleh kerajaan Bone. Tetapi karena didesak, maka kerajaan Bone takluk
kepada kerajaan Gowa dan Tallo.
C.
Kerajan Ternate dan Tidore
Secara geografis kerajaan Ternate dan
Tidore memiliki tata letak yang sanagt strategis dalam dunia perdagangan pada
waktu itu. Kedua kerajaan ini terletak di pulau Maluku. Pada zaman dahulu,
kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Sehingga
di juluki sebagai “The
Spice Island”. Rempah-rempah menjadi barang dagangan utama dalam
dunia pelayaran perdagangan pada waktu itu.
D.
Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate berdiri pada abad ke 13
di Maluku. Ibu kota kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate).
Selain kerajaan Ternate, di Maluku juga ada kerajaan lain, seperti Jaelolo,
Tidore, Bacan, dan Obi. Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang paling maju
diantara yang lainnya. Sehingga kerajaan Ternate banyak di kunjungi oleh para
pedagang. Baik itu dari Nusantara maupun dari pedagang asing.
Kemunduran Kerajaan
Ternate
Kemunduran kerajaan Ternate ini disebabkan
karena diadu domba dengan kerajaan Tidore. Pelaku adu dombanya adalah
bangsa-bangsa asing (Portugis dan spanyol). Yang bertujuan untuk memonopoli
daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan
Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol. Kemudian
mereka bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol keluar pulau Maluku. Tapi
kemenangan tersebut tidak beratahan lama, sebab VOC menguasai perdagangan
rempah-rempah di Maluku. VOC juga menaklukan kerajaan Ternate dengan strategi
dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol.
E.
Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore terletak disebelah Selatan
Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, raja pertama Ternate
adalah Muhammad Naqal yang naik kedudukan pada tahun 1081 M. Agama Islam masuk
di kerajaan Ternate pada tahun 1471 M, yang dibawa oleh Ciriliyah (raja Tidore
ke-9). Proses Islamisasi kerajaan Tidore dilakukan oleh Syekh Mansur dari Arab.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku
pada tahun 1780-1805 M. Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk
bersama-sama melawan Belanda dengan bantuan Inggris. Dalam peperangan melawan
Belanda, akhirnya Ternate dan Tidore berhasil mengusir Belanda dari Maluku.
Semantar itu, Inggris tidak mendapat apa-apa, hanya saja hubungan dagang biasa.
Sultan Nuku ini memeng cerdik, berani, ulet dan selalu waspada. Setelah
berhasil mengusir belanda dan bangsa asing lainnya, kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Dan bisa merebut kembali daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh
bangsa asing. Meliputi pulau seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai dan
Papua.
Kemunduran Kerajaan
Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore ini juga
seperti kemunduran kerajaan Ternate. Sama-sam di adu domba oleh bangsa asing
(Portugis dan Spanyol). Dan Tujuannya pun sama dengan kemunduran kerajaan
Ternate.
F.
Kerajaan
Bone
Proses Islamisasi Kerajaan Bone tidak
terlepas dari Islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin (raja ke-14 Gowa)
melakukan penyebaran islam secara damai. Pertama-tama yang beliau lakukan
adalah dakwah islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Islam Masuk di Bone
pada masa raja La Tenri Ruwa pada tahun 1611 M, dan dia hanya berkuasa selama
tiga bulan. Karena, Beliau telah menerima islam sebagai agamanya. Padahal dewan
adat Ade Pitue bersama rakyatnya menolak ajaran agama Islam. Perlu diketahu,
bahwa sebelum Sultan Adam Matindore Ri Bantaeng dan La Tenri Ruwa masuk Islam.
Ternyata sudah ada rakyat Bone yang telah berislam lebih duluan. Bahkan, Raja
sebelumnya yaitu We Tenri Tuppu karena mendengar sidendreng masuk agama islam. Beliau
pun tertarik belajar agama Islam dan akhirnya wafat disana. Sehingga, beliau
diberi gelar Mattinroe Ri Sidendren.
G.
Kerajaan
Konawe
Islam Masuk di Kerajaan Konawe pada akhir
abad ke 16. Dan kurang lebih 16 tahun setelah kesultanan Buton menerima Islam.
Islam masuk di kerajaan Konawe secara tidak resmi pada masa pemerintahan
Tebowo.Islam masuk didaerah-daerah pesisir Pantai, yang langsung berhubungan
dengan pedagang-pedagang dari luar. Tapi, agama Islam yang dibawa oleh para
pedagang belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe.
Karena masyrakat pada umumnya masih menganut kepercayaan Animisme dan
Dinamisme. Pada masa pemerintahan Mokole Lakidende (raja Lakidende II) sekitar
abad ke -18 M. Agama Islam mulai diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan
Konawe. Mokole Lakidende ini mendapat gelar Sangia Ngginoburu, karena beliau
sebagai raja Konawe yang memeluk Islam pertama kali. Pada saat pemerintahan
ayahnya, Maago Lakidende sudah belajar agama Islam dipulau Wawonii. bahkan
ketika beliau diangkat menjadi raja di konawe beliau tidak berada di tempat
kerajaan, tetap sementara di pulau Wawonii.Setelah selesai belajar di Wawonii,
beliau melanjutkan memperdalam seni baca Al-Qur’an di Tinanggea. Selama
memperdalam pengetahuan agama Islam. Pelaksana sementara raja Konawe dialihkan
ke Pakandeate dan Alima Kapita Anamolepo. Mereka menjadi pejabat sementara pada
abad yang sama (Ke-18). Kemudian dilanjutkan oleh Latalambe, Sulemandara
merangkap pelaksana sementara raja Konawe. Dan We Onupe menjadi pejabat
sementara, masing-masing pada abad ke-19. Nah, itulah kerajaan-kerajaan Islam
di Sulawesi dan Maluku. Semoga artikel saya kali ini bisa bermanfaat bagi kita
semua dan bisa menambah ilmu-ilmu sejarah serta pengetahuan. Sekian dan Terima
kasih
BAB
VI
SEJARAH
WALISONGO DAN ASAL USUL WALISONGO
Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya
mengenal cerita tokoh WALISONGO dari guru
mengaji di kampung. Walisongo dikenal sebagai 9 orang wali yang menyebarkan
ajaran Islam di Jawa. Setelah membaca beberapa buku sejarah Walisongo, ternyata
apa yang saya ketahui tentang Walisongo pada saat masih kanak-kanak
itu sebenarnya bukanlah 9 orang Wali kharismatik yang menyebarkan
Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian Walisongo yang sebenarnya adalah Dewan
Dakwah atau Dewan Mubaligh yang bernama Walisongo, di dalamnya tergabung 9 para
ulama kharismatik yang berdakwah di seluruh pelosok pulau Jawa. Untuk lebih
mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan sejarahnya yang terdapat
dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan kali ini saya sajikan Kisah
Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid, MA. Untuk kisah dan pengalaman
masing-masing wali yang dikenal masyarakat luas akan saya sajikan terpisah.
Dalam kisah dan pengalaman Walisongo yang ditulis oleh para sejarawan itu
melukiskan berbagai karomah yang diberikan Allah swt kepada mereka. Bagi
sebagian orang -jangankan karomah- mukjizat yang diberikan Allah swt kepada
Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai cerita bohong belaka, walaupun telah
jelas tertulis dalam kitab suciNYA. Oleh karena itu, membaca kisah Walisongo
dengan berbagai karomahnya tentu bukan hal yang paling utama untuk diambil
sebagai pelajaran. Menurut hemat saya, mengenali semangat, upaya, keikhlasan,
serta ketaatannya kepada Sang Khalik dalam menyebarkan ajaranNYA itulah yang
lebih penting untuk kita ketahui dan teladani. Seperti yang tertulis dalam buku
Kisah "Walisongo" tersebut, umumnya kita mengenal Walisongo hanyalah
sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Drajad, sunan kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan
GunungJati Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang
penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melakukan
sidang tiga kali, yaitu:
Tahun 1404 M
adalah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk
tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M
masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut KH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun
1466 M, Walisongo melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Diantaranya
adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana
Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang
wali menjadi anggota Walisongo.
A.
Walisongo Periode
Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
- Maulana Malik Ibrahim, berasal dari
Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik
pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara
pabrik Semen Gresik.
- Maulana Ishak berasal dari Samarqand
(dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di
Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
- Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal
dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan,
Mojokerto Jawa Timur.
- Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal
dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya
di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
- Maulana Malik Isroil berasal dari
Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung
Santri.
- Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal
dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Hasanuddin berasal dari
Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping
masjid Banten Lama.
- Maulana Alayuddin berasal dari
Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping
masjid Banten Lama.
- Syekh Subakir, berasal dari Persia,
ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat
tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu
tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang
ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia
pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat
Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur.
Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu
kuno.
B.
Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
- Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang
ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun
1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand
Selatan).
- Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari
Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat
pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan
Kudus.
- Syarif Hidayatullah, berasal dari
Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali
Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di
Ampel Surabaya.
Para wali kemudian
membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di
Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa
Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa
Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah
mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian
masing-masing.
C.
Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M.
Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
- Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul
Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak
dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan.
Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri
Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan
sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
- Raden Said, atau Sunan Kalijaga,
kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang
berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang
kembali ke Persia.
- Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan
Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan
Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun
1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
D.
Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
- Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel,
beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati
Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan
dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
- Fathullah Khan, putra Sunan
Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya
yang telah berusia lanjut.
E.
Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga. Selanjutnya, kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal masyarakat secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:
1.
Syekh
Maulana Malik Ibrahim
2.
Sunan
Ampel
4.
Sunan
Giri
5.
Sunan
Drajad
6.
Sunan
Muria
7.
Sunan
Kudus
Para peziarah Walisongo, biasanya
mendatangi makam sembilan wali tersebut. Jika ziarah itu ingin lebih lengkap
maka pemimpin ziarah (yang mengerti sejarah Walisongo) akan
menziarahi pula Walisongo periode pertama hingga periode keempat,
termasuk guru-guru atau orang tua dari para wali periode kelima. Misalnya,
seseorang dari Surabaya yang telah berziarah ke makam Sunan Drajad, ia pasti
akan menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim
Asmarakandi di Gresikharjo, beliau adalah kakek Sunan Drajad dan ayah dari
Raden Rahmat Sunan Ampel. Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga dapat
menambah pengetahuan anda semua. Amin!
F.
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah
sampai Walisongo
Rasulullah
Muhammad Saw
Imam ‘Ali Al-Murtadha Bin Abu Thalib
Imam Husein As-Sayyid Bin Imam ‘Ali Al-Murtadha Bin Abu Thalib
Imam ‘Ali Zainal Abidin Bin Imam Husein As-Sayyid
Imam Muhammad Al Baqir Bin Imam ‘Ali Zainal Abidin
Imam Ja’far Ash-Shadiq Bin Imam Muhammad Al Baqir
‘Ali Ar-Uraidhi Bin Imam Ja’far Ash-Shadiq (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
Jamaludin Husein Al-Akbar (Leluhur Wali Songo)
Walisongo
Imam ‘Ali Al-Murtadha Bin Abu Thalib
Imam Husein As-Sayyid Bin Imam ‘Ali Al-Murtadha Bin Abu Thalib
Imam ‘Ali Zainal Abidin Bin Imam Husein As-Sayyid
Imam Muhammad Al Baqir Bin Imam ‘Ali Zainal Abidin
Imam Ja’far Ash-Shadiq Bin Imam Muhammad Al Baqir
‘Ali Ar-Uraidhi Bin Imam Ja’far Ash-Shadiq (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
Jamaludin Husein Al-Akbar (Leluhur Wali Songo)
Walisongo
A.
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang
ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai
utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam
seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475
Hijriyyah atau pada tahun 1082 M. Jadi, sebelum jaman Walisongo, Islam sudah
ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu
belum berkembang secara besar-besaran. Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal
penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada
tahun 1404 M, beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun
1419. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja
dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat
Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama Hindu.
Atau bahkan tidak beragama sama sekali. Dalam berdakwah Kakek Bantal
menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al
Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke jalan Tuhanmu dengan himah
(kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka
berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di
Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri India yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat
Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun
mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari
orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya: beliau tidak
langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka
dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami
sebagaimana ajaran Nabi Muhammad saw. Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di
batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek
Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan
ahli tata negara yang ulung. Hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau
terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada
golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin. Keterangan yang tertulis di
makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam Almarhum Almaghfur yang berharap
rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi para Sultan dan para Menteri,
penolong para fakir miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya symbol
negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah
meliputinya dengan RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan dimasukkan ke dalam surga.
Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H” Menurut literatur yang
ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di
Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit
banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Sifatnya lemah lembut,
welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan
non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati.
Kepribadiannya yang baik itulah yang
menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama
Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia. Sebagai misal,
bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali,
beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah tersebut dibimbing
untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih
banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan
Rezeki, yaitu Allah swt. Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim
sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui
agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria,
Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling
rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika
Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam Islam,
orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh Maulana Malik Ibrahim
menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang Sudra
boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di
hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka
hanyalah yang paling takwa kepadaNYA. Takwa itu letaknya di hati, hati yang
mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya
mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNYA. Dengan takwa
itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak. Orang
bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia daripada mereka yang
berkasta Ksatria dan Brahmana. Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal
dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan
haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau
kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam
membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain. Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan
perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka
beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam,
tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian
Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat
Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon
pemimpin agama di mandala-mandala mereka. Inilah salah satu strategi para Wali
yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk
mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu
mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan
Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan,
dari pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh
Nusantara. Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang,
dimana para ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya. Bila
orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai
dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak
dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti. Seperti tersebut
dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh
Maulana Malik Ibrahim ditanya;
”Apakah
yang dinamakan Allah itu?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan
yang memberi pahala sorga bagi hambaNYA yang berbakti dan menyiksa
sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNYA. Jawabannya cukup
singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang diperlukan adaNYA”.
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik
Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal
dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat
kehidupan masyarakat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai
gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan
hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat
mengerjakan ibadah dengan tenang. Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak
ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar
diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran
menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus
ditiru.
a.
Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik
adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam
sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang
hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari
hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja
Brawijaya untuk masuk agama Islam. Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu
Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama
Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321
Masehi Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan.
Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama
Islam. Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu
menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya
bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia
bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri.
Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan
kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama
Islam. Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka
beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk
berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak
anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di
antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari. Kabar kematian Dewi Sari
terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa
jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa
kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada
para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan
upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan. Setelah rombongan
dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan
seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah
sendiri di bawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari
sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak berontak kepada
rajanya yang masih beragama Hindu. Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh
Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang
menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang yang
bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara. Demikianlah
sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai
ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
B.
Sunan Ampel
a.
Asal-usul
Kenalkah anda dengan daerah Bukhara?
Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand ini dikenal
sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadits
terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih. Di
Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail Kubra,
seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama
Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan
Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya
menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi. Syekh Ibrahim Asmarakandi ini
diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah
ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil
menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di
Muangthai (Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim
Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid
Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah
keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan.
Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian
yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat
Raden. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang
wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya
diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh
Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri
Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang. Ketika Dewi Kian
diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan.
Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi
terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden
Hasan atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro. Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal
Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis.
Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati
banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu
Brawijaya. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu
bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan
dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan
menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi
musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya. Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu
Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia
mengajukan pendapat kepada suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang
ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu
Dwarawati. “Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah.
Putra dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya
akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke
Majapahit ini”. “Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa
bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja
Brawijaya.
b.
Tanah
Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah
utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah
datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja
Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk
meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak
sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas.
Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit,
melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo,
Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau
dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten
Tuban. Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah
keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau
mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai
permintaan Ratu Dwarawati. Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan
Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih
lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat
seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa.
Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya. “Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang
Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya
yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan
senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan
kemampuan saya mendidik mereka”. “Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau
akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah
kau akan mendidik para bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti
mulia”. “Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali
Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali
Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan
salah putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila.
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit,
karena dia adalah menantu raja Majapahit. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah
diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau adalah anggota keluarga
kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran. Para pangeran pada jaman dulu
ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya
beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
c.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari
yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di
Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta. Rombongan itu melalui desa
Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau
juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama
kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang
terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu
dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya
cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat. Penduduk yang menerima kipas itu
merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan
sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh
bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin
banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia
memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka. Cara itu
terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat itu
wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini masih banyak
hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA, Raden Rahmat bersama
rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau
langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang telah dirubah menjadi Masjid yang
cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid
Rahmat Kembangkuning. Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan
dengan dua tokoh masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua
tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden
Rahmat. Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden
Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak
langsung melarang mereka, melainkan memberi pengertian sedikit demi sedikit
tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau
keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan
meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah
sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun Masjid
sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi
Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah. Dan karena beliau menetap di
desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal
sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung
Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal
dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi. Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
d.
Ajarannya
yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah
falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil
didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi
pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya
adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika
dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha
yang terakhir di Majapahit. Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam
di wilayah Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa
rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama.
e.
Sesepuh
Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat,
maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau
pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel
sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati. Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah
menjadi anggota Walisongo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang
meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali
lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan
peperangan dengan pihak Majapahit. Para wali yang lebih muda menginginkan agar
tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel
berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung,
karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah
diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para
wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan
nasehat kepada Raden Patah. “Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden
Patah terhitung menantunya sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari
ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi
telah berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan
Ampel dengan tenang. “Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar
menunggu sembari menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit
akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak
merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”. “Majapahit diserang adipati
lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,”
sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak
tahu persis kapankah peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau
adipati yang menyerang Majapahit itu”, Sunan Ampel adalah Penasehat Politik
Demak Bintoro. Sekaligus merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah
Jawa. Maka fatwanya dipatuhi banyak orang. Kekuatiran Sunan Ampel tersebut
memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang pembenci Islam
memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang
oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri.
Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat
di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang
membenci Islam. Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada
fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan
Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat
sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan pemimpin
agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan
Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia
menyetujui usul Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar
menyerang Majapahit. Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun
1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana
dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan
Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta
kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang
terakhir. Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi
serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara
pada tahun 1498. Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa
terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri
Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan
akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis
di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah
menyerang Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim
utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah
berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan
Kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak
salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak.
Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan
menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit
jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya.
Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama. Sunan Ampel juga turut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah
satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama
sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel. Beliau pula yang pertama kali
menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf
pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga
sekarang huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di
kalangan pesantren.
f.
Penyelamat
Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat
lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad.
Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung
Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa
seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel
“Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara
lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal
ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?” Dalam musyawarah itu Sunan Kudus
menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga,
bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka
kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang
jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal
gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan
selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.” Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan
Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah
kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan
syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa
Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah
menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik. Sunan
Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
g.
Murid-murid
Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali,
baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan
rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau
sendiri. Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak
jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
1.
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian
banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan. Adalah
sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga
sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur
Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang
tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh. Kisahnya
demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya Sunan
Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang
yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh
wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup
mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih
sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor.
Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah
masjid ini menjadi bersih”. Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang
menyapu lantai. Seluruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang
pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh
wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi,
lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi.
Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat
kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan
kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan.
Kuburan yang terakhir berada di ujung paling timur. Jika anda sempat berziarah
ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.
2.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong.
Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah
salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah. Kisahnya demikian.
Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur
tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan,
jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi
setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.
“Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian
tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan
melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,”Lihatlah ke dalam
lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau
belum?” Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji.
Ternyata di dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah.
Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan
Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji
dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong. Dari kisah karomah para wali ataupun
para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup.
Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau
meneladani sifat dan sikap Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih,
karena masjid merupakan tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya. Begitulah
riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka bisa
menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan semoga
amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Amin.
C.
Sunan
Bonang
a.
Brahmana dari India
Agama Islam yang menyebar luas di Tanah
Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari belahan dunia lain. Termasuk para
pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa
penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa.
Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan
berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. “Aku Brahmana Sakyakirti,
akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian”, ujar Brahmana
itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar. “Jika dia kalah
maka akan kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk lutut
untuk mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi
saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar
yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba
bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu,
menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai setinggi bukit. Dengan
kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang
kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya namun terjangan ombak
yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut.
Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan
diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar
samudera. Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan
diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat
dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu
didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus
belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid
ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa,
tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan air laut. Tapi
niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan
murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia
agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh kesana kemari.
Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun
di pantai itu. Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang
lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya
segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih
itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir. “Kisanak, kami
datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.
Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu dengannya?” kata sang
Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya
ajak berdebat tentang masalah keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang
kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat
saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai
bahan perdebatan”. Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut
tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas
tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang
Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya
sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya
lelaki berjubah putih itu. Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah
kehausan langsung aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana
Sakyakirti memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan
segera mabok karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung
garam. “Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan
girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa
segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin
menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu
dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang
telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah putih itu bukan orang
sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu
hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.
Seribu Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana.
Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih
itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang Brahmana dengan
hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab lelaki itu. Serta merta
Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu.
Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan
Bonang sendiri. “Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau
ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud
kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha
Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang adanya.
“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan
mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin
berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. “Mana saya
berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang kapal kami juga
ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu Paduka tak terukur
dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti. “Kau salah, aku tidak mampu menciptakan
ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya Allah yang mampu menciptakan dan
menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat
kepadaNYA, dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang!” Sang Brahmana
merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang
melalui adu kepandaian dan kesaktian. Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang
telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa
barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang
kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang
mengasihi Sunan Bonang itu sendiri. Ia bergidik ngeri saat teringat bagaimana
dirinya terombang-ambing diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang
telah memberinya pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang.
Ia percaya, jika niatnya dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati
tapi dia sendirilah yang bakal binasa. “Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya
sebagai murid…”, kata Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan
Bonang. “Kau harus mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih
lengkap lagi. Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika
kau sudah memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk
agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir” Sekali lagi sang
Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak
memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang
memperbolehkannya untuk berlutut dia akan bersujud dan menyembah sepasang
kakinya. “Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata
Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan
murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti
langkah Sunan Bonang. Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas
kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
b.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa
Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel
dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan
Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum
adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja
Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit. Sebagai seorang Wali yang
disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan
Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim
sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat daripada orang
awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak
dini juga mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan dari berbagai literatur
bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya
menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan
Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai.
Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi
atau Iran. Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan
Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan
Surabaya.
c.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini
sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang
ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak
maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. Beliau
adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya. Setiap Raden
Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah
rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam
kepada mereka. Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah
tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean,
Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang
dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
d.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang
disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai
karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk
Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Suluk
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau
tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara
biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan
Bonang yang disebut Suluk Wragul. Dhandhanggula Sunan Bonang Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga Belum ketemu hakikatnya Ada atau tidakkah
ia Sebenarnya aku ini siapa Impian beraneka ragam Kalau dipikirkan akhirnya
menyedihkan Yang mustahil banyak sekali Segala wujud di semesta ini Tak putus-putus
sama sekali Wragul 2 Maka dengarkanlah perlambang ini Ada kera hitam sedang
berdiri Di tepi sungai Tertawa keras tak kepalang Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam Terus tanpa kesudahan Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan Yang
diingat hanya makanan Tanpa mempedulikan Bahaya mengancam Wragul 3 Dilahapnya
apa saja yang ia dapatkan Tidaklah ia memperhatikan Tuhan Yang Mahaagung yang
menciptakan Mustahil Ia tak sanggup memberi makan Dari kehidupan hingga kematian Apa pun saja
dikodratkan Telah disesuaikan Ulat dalam batu pun diberi santunan Maka jangan
hanya suntuk mencari makan
e.
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling
hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala
penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di
pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya
menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel
di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak
mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih
ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya. Pada malam harinya, orang-orang
Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang
Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan
hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah
itu tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi
ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut
jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban. Sementara kain
kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean
pun menguburkannya dengan penuh hikmat. Dengan demikian ada dua jenazah Sunan
Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau.
Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat
pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban
sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru
Tanah Air.
D.
Sunan Giri
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan
diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk
dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada
sebagian yang memeluk agama Budha. Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah,
demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh
sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun
untuk mengobati tapi sang putri belum juga sembuh. Memang pada waktu itu
kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah
korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati.
Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan
sehari-hari menjadi macet total. Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu
kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan
diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan
diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok
negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada
seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu. Permaisuri
makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan
menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati
penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara
berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau
di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak
pengikutnya mencari orang-orang sakti. Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu
dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri
seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah
secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan. Patih Bajul Sengara dapat
bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur di sebuah goa.
Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk
agama Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia
memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah
diobati. Pegebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka
Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai
Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
a. Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak
menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja
penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak
henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati
Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini. Patih Bajul Sengara
sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut
Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh
Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau
kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh
Maulana Ishak mengetahui juga. Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh
bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi
pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus
menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi
meninggalkan Blambangan. Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat
karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana
Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan
besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih
kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh
Maulana Ishak yang sangat dibencinya. Dua bulan kemudian dari rahim Dewi
Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak
Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya
yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya
mengeluarkan cahaya terang. Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara.
Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama
empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada
saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara
bikin ulah lagi. “Bayi itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan
menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun
terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa
bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat. Sang Prabu
tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror
dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya dimasukkan ke dalam
peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.
b. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang
dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat
Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa
mundur pun tak bisa. Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa
sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah
diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti
peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang
terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok
dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa bayi mungil itu,
tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh
orang yang tidak berperi kemanusiaan. Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal
untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju.
Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
cepatnya. Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda
berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali
dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,”
kata sang Nakhoda. “Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari
mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra,
Selat Bali, jawab Nakhoda kapal. Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai
Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia
menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka
Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra. Ketika berumur 11
tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden
Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko
Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan
Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta
supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam. Pada suatu malam,
seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat
tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat agar selamat di dunia dan
akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para
santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang
memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun,
sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang
wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu. Esok
harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa
di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya
Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra. Melihat yang
mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu
pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih
datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk
bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika
masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih
tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih. Teringat pada pesan Syekh Maulana
Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan
pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai
Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali
besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang
Pangeran Majapahit itu.
c.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden
Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan
saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan
untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan
pengalaman. “Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana
juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu
yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya
yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan
berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu
di masa yang akan datang”. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden
Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira,
penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku
yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi. Raden Paku menceritakan riwayat
hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil
anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat
dicintainya. Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan
menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak
Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya
berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Di negeri Pasai
banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama
Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan
Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik
kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya. Ada
yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang
langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf
dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai. Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan
berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin. Setelah
tiga tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh
ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. “Kelak,
bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul
dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren”, demikian
pesan ayahnya. Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim
berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik
kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
d.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah
oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan.
Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada
pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu
Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk
ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar. Tiga buah kapal berangkat
meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan
itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang
dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan,
damar, emas, dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi
berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar,
Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada
penduduk setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia
segera memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita pasti akan mendapat murka
Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?”
“Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan
dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari
mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?
Saya kira belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk
membersihkan diri”. “Itu diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah.
“Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya
tidak oleng dihantam ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia
sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau
perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau”, kata Raden Paku
dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan
batu dan pasir”. Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik
dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai
Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang
dianggap tidak normal itu. “Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku.
“Sudah jangan banyak bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori
karung-karung kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal
membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti
rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih
besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
e.
Perkawinan Raden
Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit
bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di
depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima
yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa
penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku
tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan
di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden
Paku. Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia
berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”. Memang, Ki Ageng Bungkul
telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu
dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi
Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan
kepada Sunan Ampel. “Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang
baik. Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah
menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”,
demikian kata Sunan Ampel. “Tapi…bukankah saya hendak menikah dengan putri
Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata
Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah
selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”. Itulah
liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali.
Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang
bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya. Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau.
Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat
sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara. Lama-lama kegiatan
dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan
agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya
untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu
tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan
anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah
orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden
Paku yang hendak mendirikan pesantren. Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa
yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada
Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa
Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai. Melalui
desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk,
hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di
tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung, maka
dinamakan-lah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung. Atas
dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak
begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke
seluruh Nusantara. Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga
tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke
seluruh Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari
pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada
dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung
tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan adanya
Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian
menurut De Graaf. Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru
bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab,
Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri
sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan
pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga
membangun asrama yang luas. Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang
dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya
Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau
sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
f.
Peresmian Masjid
Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan
Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada
waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada
sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena
wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian
menurut Sunan Giri. Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu
dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat
berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan
agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat
jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi
dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih
mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini. Sunan Kalijaga
membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali. Karena tak bisa
disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit
itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah
dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda
khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh
Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan
Giri yang menata. Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat
Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan
oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
g.
Jasa-jasa Sunan
Giri
Jasanya
yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah
Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil
berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali
yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat
Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat
tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah. Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif
bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam yang
sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama. Di
bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan
tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, Cublak
Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang
dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara anak-anak yang bermain ada yang
menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat
dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang
telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti
permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama
Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang
dilambangkan sebagai pemburu. Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan
itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha
dolanan, Dolanane na ing latar, Ngalap padhang padhang gilar-gilar, Nundung
begog hangetikar”. (Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di
halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud lagu
dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah
datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk
mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan
kesesatan.
h.
Para Pengganti
Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada
tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun.
Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau
bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah
adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
memerlukan pengesahan dari Sunan Giri. Giri Kedaton atau Kerajaan Giri
berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal
dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1.
Sunan
Dalem
2.
Sunan
Sedomargi
3.
Sunan
Giri Prapen
4.
Sunan
Kawis Guwa
5.
Panembahan
Ageng Giri
6.
Panembahan
Mas Witana Sideng Rana
7.
Pangeran
Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8.
Pangeran
Singosari.
Pangeran Singosari ini berjuang gigih
mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan
kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan
yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah
menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri. Pemberontakan
Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I
yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang
dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya
fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka
adalah para pengikut faham Manunggaling Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan
oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Walisongo. Sesudah Pangeran Singosari
wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah
makam-makam dan peninggalan Sunan Giri, yang dirawat oleh juru kunci makam.
Meski demikian kharismanya sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap abadi
sepanjang masa. Itu bisa Anda buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang
tiap hari membanjiri makamnya.
E.
Sunan Drajad
a. Asal-usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim,
beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden
Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya
kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong
dari ulama besar antara Tuban dan Gresik. Raden Qosim mulai perjalanannya
dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam
perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam ombak yang besar
sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa,
tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya
kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim.
Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan
menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi
pantai. Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu
maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan ikan
talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu beliau telah
berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang.
Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang
tiada lagi obatnya. Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai
yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati),
kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat
dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra
Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya.
Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya
menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana beliau
mendirikan surau langgar untuk berdakwah. Tiga tahun kemudian secara mantap beliau
mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu di
tempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur
itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad
terletak di sebelah barat Museum tersebut. Raden Qosim adalah pendukung aliran
putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung
aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah
menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak
berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran
Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama. Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di
dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas
gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad
kepada kesenian Jawa. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut
sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia
beliau juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering
menolong mereka yang menderita.
b. Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran
beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang
lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut:
Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat
yang miskin (kurang makan). Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang
tidak tahu malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada
orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel,
siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan
masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk
mengamalkannya. Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan
dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta
mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu. Di bidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang
menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut masih disukai
rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau
karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah swt.
F. Sunan
Muria
a. Asal-usul
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan
Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah
beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan
airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar
Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya
bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam,
sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan
wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang
menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
b. Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria
itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak
Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu
Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai
ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m. Bayangkanlah, jika Sunan Muria
dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna
menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para
nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa
adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan
untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan
Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya. Bukti bahwa
Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah
Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan
Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian
ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini
sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau. Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap
dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria, Sunan
Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga
diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh. Setelah tamu berkumpul
Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan
dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi
Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang
mekar-mekarnya. Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama
dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi
seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi
Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum
menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya
yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus. Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan
lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu
sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi
bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan
berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin
malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah
putri gurunya. Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya
karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah
pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah
Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah
malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian
bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya
(sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan
diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari
gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah
Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik
oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa
putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila
perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman
Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang. “Saya akan berusaha mengambil Diajeng
Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria. Tetapi, di
tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan
yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu
merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling. “Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya
Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan
oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai
saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk
membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono. “Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang
sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng
Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya
sekedar membantu”, demikian kata Kapa. “Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan
Muria. “Itu benar, tapi
membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada
kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus
menengok para santri di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono
dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang
Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang
jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke
Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak
Warak. “Hai Pathak Warak berhenti
kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda
terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya. “Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik
Pathak Warak. “Boleh, asal kau
kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!
Kini aku hendak mengejar mereka!”,umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya
kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku,
Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang
kuda-kuda. Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia
merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan
tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.Hanya dalam
beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam
keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu
untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan
perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena
Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang
memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang
pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan
pun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah
Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang
hidupnya serba berkecukupan. Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke
Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan
wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu
senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak
seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang
menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya.
Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan
bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki
diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat
oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata. Kini Kapa dan Gentiri
benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono
dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu
sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri
berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan
niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran
dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi
semakin panas, hingga akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung
Muria. Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat
surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam
di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu
Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro.
Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid
Sunan Muria yang berilmu rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono.
Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke
pulau Seprapat. Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan
Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau
Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama
lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak. Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan
akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama
itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya
banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara
sukarela. Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik
oleh Wiku Lodhang datuk. “Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu
sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah. “Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini
muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela
kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”. Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria
sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya
sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara
Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi
Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan
selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba
terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan
aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu
yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa
mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu
itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri. “Maafkan
saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut
memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam
sang Wiku. Bagaimana pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia
menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria
kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.
G. Sunan
Kudus
a. Asal-usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus
adalah putra Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada
yang mengatakan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam
Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak
Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam
pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian
digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja’far
Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita
kekalahan, namun melalui siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka
(persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan
Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat
siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah,
siasat itu dapat merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang
dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan.
Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung
dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan
berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan
menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu
dimenangkan oleh pasukan Demak.
b. Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli kiai Telingsing adalah The Ling
Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa
bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah.
Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin
tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The
Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah
daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana
sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga
mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir
kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari
sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar
atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden
Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
c.
CARA BERDAKWAH
YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut:
- Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat
untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi
masyarakat yang demikian.
- Bagian
adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka
segera dihilangkan.
- Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat
rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan
menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang
sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan
agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan
airnya.
- Pada
akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari
umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha
menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada
ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran
Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam
secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap
otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata
yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena
siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan
Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan
Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau
Aliran Giri. Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda
itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
d. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”. Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah
itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat
Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil
didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk
agama Islam. Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya
dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu,
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa
takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
e.
Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1.
Harus
memiliki pengetahuan yang benar.
2.
Mengambil
keputusan yang benar.
3.
Berkata
yang benar.
4.
Hidup
dengan cara yang benar.
5.
Bekerja
dengan benar.
6.
Beribadah
dengan benar.
7.
Dan
menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak
umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha
itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid
untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
f.
Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih. Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an. Sebelaum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan. Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah. Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan. Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya. Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
g. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah. Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya. Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis. “Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini” “Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq. “Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu. Jakfar Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci. Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
h. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya. Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih. Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya. Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit. Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa. Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro. Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”. Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”. Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu. Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya. Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”. “Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging. Ki Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan. Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa. Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun. Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi. Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri desa. Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa. Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti rumah penduduk lainnya. Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus. “Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”, kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”. Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak! Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali. “Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”. “Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!” Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi. “Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan. Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya. “Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak. Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.
H. Sunan Kalijaga
a. Diusir Dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali
disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama
Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said
sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi
karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan
kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden
Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten
Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada
waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang,
semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah
mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para
penarik pajak. Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai
kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia
gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari
yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel
itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk
mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya
ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi ayahnya sebagai
adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam
sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan
ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang
Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik
dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan
kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan
mereka. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur
girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu
siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di
malam hari secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas
rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget,
hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke
pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah
pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip
dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang
itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden
Said, putra junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang
itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang
mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang. Raden Said tak pernah
menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar
dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten
menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan
ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said
tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat
hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa
hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan
istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang
dilakukan Raden Said selanjutnya? Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian
serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban.
Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta
hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang
menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja
orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang
mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga. Pada suatu malam, Raden Said
yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk
desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat
kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu
segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik
memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang
sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian
seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan
pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu. Raden Said
berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan
diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari
kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru
diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden
Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain
menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke
rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di
wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala
desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah
putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu.
Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah
bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten
Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka.
Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali
ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi
dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri!
Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana
Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di malam
hari!” Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden
Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang
Adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said,
yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa
bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan
yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah
dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
b. Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari
Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia
menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman.
Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah
dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang
dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni
rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang
nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada
seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya
sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang
langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki
berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah
putih itu jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang
matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said
pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata
tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran
melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,”
ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak
tangannya. “Lihatlah! Aku telah
berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh
tersungkur tadi”. “Hanya
beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya
tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa.
Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di
hutan ini?” “Saya menginginkan
harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan
penduduk yang menderita”. “Hem,
sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah
orang tua itu. “Jika kau mencuci
pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?” “Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden
Said. “Hanya menambah kotor dan bau
pakaian itu saja”. Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang
didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian
dengan air kencing”. Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya
menerima amal dari barang yang baik atau halal”. Raden Said makin
tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya.
Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki
berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas
asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu. “Banyak hal yang terkait dalam usaha
mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya
hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau
harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya
memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar
dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”. Raden Said makin terpana,
ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang
mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!” Berkata
demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu
berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia
adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu
mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia
pasti dapat mengatasinya. Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu
tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia
benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan
orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas? Selama beberapa saat
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu.
Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang
telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok,
berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh
dan pingsan. Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi
menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari
orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat. Ucapan
orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang
haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang
berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan. Raden Said
mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Sepertinya santai
saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa
menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah
tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan
di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai
itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang. “tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu
hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah
Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa
saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima
syarat-syaratnya?” “Saya
bersedia…” Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai.
Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu
sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat
ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said
terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para
wali. Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk
bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan
seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Doanya dikabulkan. Raden
Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah
merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda
itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru
yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah
putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama
sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari
Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya yang
menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang
mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya
sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau
pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman
sebagai penunjuk jalan kehidupan. Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat
atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke
dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih
berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha. Sunan Bonang mampu berjalan di
atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena
percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat
bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama
yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
c.
Kerinduan Seorang
Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua
anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih
setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten
Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat
ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan
topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa
Raden Said tidak bersalah. Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia
benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu
tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah
kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban,
melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang Ibu.
Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an
dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban. Suara Raden Said yang
merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan
mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih
belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya
menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya
yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan
isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu. Karena
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan
Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan
Empu Supa. Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan
Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam
berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari
petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan
Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau
memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di
sisi Allah. Amin.
d. Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat,
Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan
tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba. Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki
Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping
sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang
pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar
masuk pasar setiap pagi. Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya.
Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya
pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak,
anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di
tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya
setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!. Ia mempunyai
beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar,
Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik
dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan
berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya. Suatu ketika di
musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat
menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual
rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu sepikul rumput
berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas
ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu
saja. Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia
datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya
Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini
kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab
si penjual rumput. Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah
tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga
kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi. “Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh
sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput
lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba
minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”. Ki Pandhanarang mendelik
penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan
mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan
berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya. “Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua.
Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan
harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang
merah wajahnya pertanda marah. “Hai
Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah
seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”. Dengan
beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang
yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala
cara!” “Pak tua! Bicaramu makin
tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa
mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?” “Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu
ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata,
sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua!
Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru
kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum
dengan hukuman seberat-beratnya!” Ki Pandhanarang lalu menyuruh
pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!” Dengan
tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika
ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang
terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu
berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual
rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya. Ki Pandhanarang baru
sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya
kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk
berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah
is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu. “Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi
bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya
ingin berguru kepada Tuan” “Berguru?
Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya
gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di
Semarang?”. “Benar Tuan!”.
“Berkorban dengan segala harta dan
jiwa?”. “Saya bersedia…”.
“Kalau begitu kau harus menjalankan
ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau
harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin
dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh
harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu
harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau
laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”. “Wahai Tuan yang arif dan bijaksana.
Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah
para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo,
menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”. Mendengar nama
besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun
seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya. Ki Pandhanarang
pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan
sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk
pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit
sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug. Ia membayar zakat
sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak
yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan
sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia
bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat. Salah seorang dari
istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa
harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur
cita-cita kita”. Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan
kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa
tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang
di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata. Ki Pandhanarang yang berjalan
di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera
dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok.
Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok
itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai
Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia
berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan. “Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada
istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa
itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA. Akhirnya Nyai Pandhanarang
dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya
karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa
emas dan permata. “Itulah, kau tidak
mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita.
Sekarang kau berjalanlah di muka”. Nyai Pandhanarang kemudian berjalan
di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok
yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan
hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki
Sambangdalan. “Aku tidak membawa
harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia
merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya
karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana
kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki
Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja
korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli
Ki Pandhanarang. Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang
berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan
risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba
saja!”
Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan
berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya.
Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai
di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena
basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku
berubah menjadi domba??”. “Itu
karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”,
pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi
takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun
sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan
Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki
Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan
bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan)
dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki
Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin
kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari
dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke
tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki
Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh
dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun
ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi
gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran
yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang
wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di
daerah Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut
sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan
Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah
dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran
Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai
beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai
pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan
kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi,
karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak
membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
“Kau
teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai
pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat
memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala
mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata
mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan
api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan
Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun
berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan
Bayat yang setia.
I.
Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah
ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya
sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak
mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar
di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka
ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama
Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang
menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang
penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu
Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah
bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan
Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang
Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri
Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran
Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran
Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan
agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta agar diijinkan
tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah Muda’im dan putranya yaitu
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesanteren
Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana
menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya
yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana
menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama
pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi
kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi
tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah
kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang
masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering
singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri
Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian
Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan
Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut
bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan
beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan
Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama
dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi
mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti:
Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari
negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat. Bahkan Sunan Gunungjati pernah
diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama
Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama
Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik
antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan. Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati,
Putri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah
putri Ong Tien ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit.
Sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri
Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif
hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada
tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari
pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan
sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan
alijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang
persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten
lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu
Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang
semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit. Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran
mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus
atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu
tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka
terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka. Ketika Adipati Unus kembali
ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar
ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah
karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Pada tahun 1521
Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di
dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima
Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang
pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon.
Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah
dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis?
Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang
semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah
Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena
Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka
diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang
terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik
lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando
dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang
tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah
ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu
oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian
hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan
merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal
lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa
Barat. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan
Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia
Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus
Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan
diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan.
Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin
meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan
kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai
kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I.
Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan
Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam
usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan
di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai
apapun juga.
a. Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan
Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia
digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil. Daratan Cina sejak lama dikenal
sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah
dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan
tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat
sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama
bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan
sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu,
makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga
nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina. Di negeri Naga itu
Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan
bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada
suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar
Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan
dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah
legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina adalah karena
tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud.
Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal
bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai
Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan
nyenyak setelah shalat dan berdoa. Ketika beliau terbangun, beliau merasa
kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau
telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau
membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan
shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya
makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang
berkepandaian tinggi. Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi
terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak
menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat
mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil. Dua orang Kaisar
disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal
dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar
hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum
hamil. “Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan
Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau
diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina. “Dia!” jawab Sunan Gunungjati
sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa
terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua
orang yang ada di balairung istana Kaisar.
Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti,
karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa
anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!” Maka gemparlah seisi
istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah
kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti
orang hamil. Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina.
Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun
Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia
minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau
Jawa. Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati
ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga
lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh
tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan
Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati
tatkala beliau berdakwah di negeri Cina. Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka
singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya
dengan meriah sekali. Mereka merasa heran. “Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya
kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang
bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang
digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia
dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li
Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah
meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera
Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan. Dalam
kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi
akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya
itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah
seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati
meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin
kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia
bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia
bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat
sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal
dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang.
Dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama
kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang. Sementara
itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di
Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri
itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati
terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal
dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah
anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya.
Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.
Komentar
Posting Komentar